as

OK

Senin, 19 September 2011

menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi umat Islam

UMAT BERTANYA ULAMA MENJAWABPertanyaan:
Mohon diungkapkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi umat Islam
-
Jawaban:
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib, baik yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadis Nabi Saw. maupun dari fatwa ulama, antara lain sebagai berikut:
  • Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an:
    "Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama?" (QS. At-Taubah:122)
    Sekalipun dalam ayat tersebut tidak tampak kata-kata wajibun yang berarti wajib; atau kata-kata faridhatun yang berarti difardukan, tetapi dalam ayat itu terdapatfi'il mudhari' yang telah kemasukan lamul amr, yakni lafaz liyatafaqqahuu.

    Dalam ilmu Ushul Fiqih ada kaidah yang berbunyi:
    "Arti yang pokok dalam amr ialah menunjukkan wajib." (Kitab As-Sullam, halaman 13; dan kitab Ushul Fiqh, halaman 31)
    Dengan demikian, ayat diatas mengandung arti bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib.
  • Rasulullah Saw., bersabda:
    "Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam" (Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)
    Hadis tersebut sepengetahuan kami terdapat dalam beberapa kitab hadis berikut ini:
    • Sunan Ibnu Majah, Juz I, halaman 98, karya Imam Ibnu Majah Al-Qazwini.
    • Mukhtarul Ahaditsin Nabawiyah, halaman 93, karya Sayid Ahmad Al-Hasyimi.
    • Al-Jami'ush Shaghir, Juz I, halaman 194, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi.
    • As-Sirajul Munir, Juz II, halaman 416, karya Syekh Ali Al-Azizi.
    • At-Targhib wat-Tarhib, Juz I, halaman 96, karya Al-Hafizh Al-Mundziri
    Perlu kami tambahkan bahwa dalam kitab-kitab hadis yang telah kami kemukakan di atas tidak terdapat tambahan lafaz wa muslimatin setelah lafaz 'ala kulli muslimin.

    Bahkan dalam kitab-kitab Tasawuf dan Irsyad pun yang menyitir hadis tersebut antara lain:
    • Ihya Ulumuddin, Juz I, halaman 9, karya besar Imam Hujjatul Islam Al-Ghazali
    • Tanbihul Ghafilin, halaman 115, karya Imam As-Samarqandi
    • Irsyadul 'Ibad, halaman 7, karya Syekh Zainuddin Al-Malibari

    Kami tidak menemukan tambahan wa muslimatin sebagaimana sering terdengar dari khotbah para mubalig dan para khatib. Mereka selalu menambahkan lafaz wa muslimatin yang artinya "menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan."

    Dalam kitab Ta'limul Muta'allim karya Syekh Az-Zarnuji, halaman 4, termaktub hadis Nabi itu sebagai berikut:
    "Rasulullah Saw. bersabda: Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah."
    Seorang ulama ahli hadis dari Madinah, Imam Abdul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi, ketika mengomentari Hadis Riwayat Imam Ibnu Majah dan lain-lain dari Anas bin Malik tersebut dalam kitabnya Hasyiyah Sunan Ibnu Majah menyebutkan:
    "Sabda Nabi Saw. atas setiap muslim, artinya orang muslim yang telah akil balig, untuk mengecualikan orang muslim yang belum akil balig, yaitu anak kecil dan orang gila; dan yang dimaksud dengan kata-kata 'muslim' dalam hadis itu ialah orang (yang beragama Islam), maka mencakup kepada laki-laki dan perempuan." (Kitab Hasyiyah Sunan Ibnu Majah, Juz I, halaman 98-99)
    Selanjutnya pada juz I, halaman 99 dalam kitab tersebut beliau mengutip ucapan seorang kritikus hadis Imam As-Sakhawi:
    "Imam As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Maqashid berkata: Ada sebagian pengarang kitab yang menambahkan lafaz "Wamuslimatin" di akhir hadis ini, padahal tidak terdapat dalam beberapa thariq(jalan) riwayat hadis, sekalipun benar kalau ditinjau dari segi makna."
    Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa lafaz wamuslimatin dalam hadis itu bukanlah ucapan Nabi Saw., melainkan hanya tambahan dari pengarang kitab.
    Jadi menuntut ilmu itu hukumnya wajib, berdasarkan Hadis Nabi Saw. diatas yang berarti: "Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam yang akil balig, baik laki-laki maupun perempuan."
  • As-Sayid 'Alawi bin Ahmad As-Saqaf telah berfatwa:
    "Dan ketahuilah wahai saudaraku, bahwa yang paling wajib dan utama dalam masalah yang difardhukan ialah ilmu, dan yang paling besar dosanya dalam masalah pelanggaran yang diharamkan ialah kebodohan, dan kebodohan yang paling sesat ialah berbuat bodoh terhadap Allah, yaitu kufur" (Illajul Amradlir Radiyyah, halaman 9)
    Berdasarkan firman Allah dan sabda Nabi serta fatwa ulama tersebut, jelaslah bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Berdosalah umat Islam yang tidak mau menuntut ilmu.

    Diakhir pembahasan masalah ini akan kami ungkapkan ucapan seorang ulama besar, Imam Syafii (Rahimahullah), yaitu:
    "Imam Syafii (Rahimahullahu Ta'ala) berkata, "Barang siapa yang tidak cinta terhadap ilmu, maka tidak ada kebaikan padanya; dan janganlah di antara kamu dengannya terjalin hubungan intim dan tidak perlu kenal dengannya, sebab orang yang tidak mau belajar ilmu, tentu ia tidak akan mengetahui cara-cara beribadah dan tidak akan melaksanakan ibadah sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Seandainya ada seseorang yang beribadah kepada Allah Swt. seperti ibadahnya para malaikat di langit, tetapi tanpa dilandasi dengan ilmu, maka ia termasuk orang-orang yang merugi." (Dikutip dari kitab 'Ilajul Amradlir Radiyyah, hamisy kitab 'Fawaidul Makkiyyah', halaman 14-15)

"Tuntutlah ilmu walau di negeri cina"

1. UTHLUBUL 'ILMA WALAU BISHSHIIN
"Tuntutlah ilmu walau di negeri cina"
Sumber 1 (Qosim Koho)
Diriwayatkan oleh Ibnu 'Adiy dalam kitabnya juz II halaman 207, dan oleh Abu Nu'aim dalam kitab  Akhbaaru Ashbahaan Juz II halaman 106, oleh Al-Khatiib dalam kitab Taarikhul Baghdaadiy
  1. Hadis ini BATHIL. Bukan ucapan Rasulullah SAW
  2. Semua riwayat melalui jalan : Al-Hasan bin 'Athiyah. Tetapi dalam sanadnya ada rawi yang bernama : Abu 'Aatikah. Dia termasuk rawi yang MATRUK (hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tertuduh dusta baik dalam meriwayatkan hadis ataupun selainnya. Hadis matruk ini seburuk-buruk hadis dla'if 4)
  3. Rawi inilah yang meriwayatkan dengan tambahan WALAU BISHSHIIN
  4. Dilain riwayat ada pula tambahan FARIIDHATUN 'ALAA KULLI MUSLIMIN. Dalam sanadnya ada rawi yang sifat dan keadaannya mendekati derajat dlaif.
  5. Imam Bukhari mengatakan : "Abu 'Atikah yang seorang rawi yang suka meriwayatkan hadis hadis MUNKAR"  (sesuatu hadis yang dilawankan dengan hadis lain yang lebih kuat ingatan perawinya. Riwayat yang lebih kuat ingatan perawinya dinamai "MAHFUDH" dan yang menjadi lawannya dinamai "SYADZ". Jika yang SYADZ ini mengandung kelemahan pula, maka dinamai MUNKAR. Sedang yang MAHFUDZ dinamai MA'RUF 4)
  6. Imam Nasaa-i mengatakan : "Dia adalah rawi yang LAISA BITSIQAH (tidak dapat dipercaya)
 Sumber 2 (Prof. KH. Ali Mustafa Ya’kub, MA)
 RAWI dan SANAD
Hadis ini diriwayatkan Ibn ‘Adiy (w356H), Abu Nu’aim (w430H), al-Khatib al-Baghdadi (w463H), Ibn ‘Abd al-Barr (w463H), Ibn Hibban (w254H) dll. Semua menerima hadis tersebut dari al-Hasan bin ‘Atiyah, dari Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik, (dari Nabi SAW).
 KUALITAS HADIS
  1. Ibnu Hibban mengatakan yang meriwayatkan hadis tsb mengatakan  hadis ini bathil la ashla lahu (Batil, palsu, tidak ada dasarnya)
  2. Al-Sakhawi mengulang kembali pernyataan Ibnu Hibban dalam kitabnya.
  3. Sumber kepalsuan hadis adalah rawi  Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman (dalam sumber lain tertulis : Salman).
  4. al-Uqaili, al-Bukhari, al-Nasai dan Abu Hatim sepakat bahwa Abu 'Atikah Tarif bin Sulaiman  tidak memiliki kredibitas  sebagai  rawi hadis.
  5. al Sulaimani mengatakan Abu 'Atikah dikenal sebagai Pemalsu Hadis
  6. Imam Ahmad tidak mengakui ini sebagai Hadis Nabi.
 RIWAYAT-RIWAYAT LAIN
Hadis tersebut ditulis kembali oleh Ibn al-Jauzi dalam kitabnya al-Maudhua'at (Hadis-Hadis Palsu). Kemudian al Suyuti dalam kitabnya al-La'ali al-Mashnu'ah fi al_Ahadits al-Maudhu'ah (sebuah kitab ringkasan dari kitab Ibn al-Juazi ditambah komentar dan tambahan), mengatakan bahwa disamping sanad di atas, hadis tersebut memiliki tiga sanad lain, sbb :
  1. Riwayat Ibn  Abd al-Barr dan al-Baihaqi dalam kitab Syu'ab al-Iman, dengan sanad : Ahmad bin 'Abdullah – Maslamah bin al-Qasim – Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani – 'Ubaidah bin Muhammad al-Firyabi – Sufyan bin 'Uyainah – al-Zuhri – Anas bin Malik – (Nabi SAW).
  2. Riwayat Ibn Karram dalam kitab al-Mizan (Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal) karya al-Dzahabi, dengan sanad : Ibn Karram – Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari – al-Fadl bin Musa – Muhammad bin 'Amir – Abu Salamah – Abu Hurairah – (Nabi SAW)
  3. Riwayat Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitabnya al-Lisan (Lisan al-Mizan) dengan riwayat sendiri yang berasal dari Ibrahim al-Nakha'i – Anas bin Malik. Ibrahim berkata : "Saya mendengar Hadis itu dari Anas bin Malik.
 Kualitas ketiga sanad itu sbb :
Sanad ke-1, menurut Imam al-Dzahabi : "Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani adalah KADZDZAB (PENDUSTA)"
Sanad ke-2,  Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari,  adalah seorang PEMALSU HADIS.
Sanad ke-3, Ibn Hajar al-Asqalani yang meriwayatkan hadis tersebut mengatakan " Ibrahim al-Nakha'i tidak pernah mendengar apa-apa dari Anas bin Malik". Karena itu al-Nakhai adalah seorang PEMBOHONG.
PEMBAHASAN LEBIH LANJUT
A). Pembicaraan ketiga sanad
  1. Ketiga sanad yang disebutkan al-Suyuti tetap berstatus maudhu' atau Palsu.
  2. Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani mengatakan bahwa catatan al- Suyuti itu Laisa bi syai'in (tidak ada artinya)
  3. Hadis yang dlaiif apabila diriwayatkan dengan sanad lain yang juga dlaiif, maka dapat meningkat statusnya menjadi Hadis hasan li ghairih. Tetapi dengan catatan : kelemahannya bukan karena rawinya seorang yang fasiq (berbuat kemaksiatan) atau ia seorang pendusta. Sementara rawi hadis tersebut adalah orang pendusta bahkan pemalsu hadis.
  4. Prof. Dr. Nur al-Din 'Itr berpendapat hadis tsb memang tidak dapat meningkat statusnya dari dlaiif  menjadi hasan lighairih. Beliau juga tidak memastikan hadis tersebut palsu. Beliau hanya menetapkan hadis tersebut sangat lemah (DLAIIF SYADID). Sayangnya beliau tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan dlaiif syadid itu, sebab hadis palsu adalah hadis yang paling lemah.
  5. Dalam disiplin ilmu hadis, hadis yang sangat perah kelemahannya, seperti HADIS MAUDHU, HADIS MATRUK dan HADIS MUNKAR tidak dapat dijadikan sebagai dalil apapun, bahkan walaupun untuk dalil amal-amal kebajikan (fadhail al-a'mal). Sebab salah satu syarat dapat digunakannya hadis dlaiif untuk dalil-dalil fadhail al-a'mal adalah kedhaifannya tidak parah.
  6. Meskipun Prof. Dr. Nur al-Din  'Itr berbeda pendapat dengan Syeikh Nashir al-Din al-Albani dan ibn al-Jauzi dalam menilai hadis tersebut, namun dalam praktek mereka sepakat bahwa hadis tersebut tidak dapat digunakan untuk dalil apa pun, baik untuk akidah, syariah maupun akhlaq dan fadhail al-a'mal.
 B). Pembicaraan perihal Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani
  1. Imam al-Dzhabi menyebut Ya’qub  sebagai kadzdzab (pendusta)
  2. bn Hajar al-Asqalani menyampaikan bhw Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani disebut-sebut oleh Maslamah bin al-Qasim dalam kitabnyaa al-Shilah
  3. Maslamah menjelaskan bahwa Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani menjadi pembicaraan para guru hadis. Ada yang menilai majruh (inkredibel), ada yang menilai tsiqah (kredibel)
  4. Maslamah sendiri menilai bahwa Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani “shalih wa ja’iz al-Hadits (baik hadisnya)”
  5. Komentar Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. (2)  :
  • Rawi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani termasuk rawi yang kontroversial.
  • Dengan demikian tidak mengubah status hadis “Tuntutlah ilmu walau sampai negeri cina” menjadi shahih.
  • Dalam ilmu al-Jarh wa Ta’dil (evaluasi negaaif dan positif atas rawi-rawi hadis) terdapat kaidah apabila seorang rawi  dinilai negatif  (jarh) dan positif (ta’dil) oleh para ulama kritikus hadis, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang menilai negatif apabila penilaian itu dijelaskan sebab-sebabnya.
  • Dengan demikian Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani tetap sebagai rawi yang MAJRUH (inkredibel)

2. THOLABUL 'ILMI FARIIDHOTUN 'ALA KULLI MUSLIMIN
"Menuntut ilmu itu diwajibkan atas tiap-tiap orang muslim"
Sumber 1 (Qosim Koho)
Diriwayatkan dari jalan Anas, tetapi semua riwayat ini ada Illah yang sangat jelek. (Muhammad Thahir, Kitab Tadzkiratul Maudluu'aat hal : 17)
  1. Hadis ini DLA'IIF (lemah)
  2. Imam Baihaqy mengatakan "Matan (isi) riwayat ini sangat terkenal dimana- mana tempat, tetapi sanadnya Dla'iif".
  3. Hadis ini diriwayatkan melalui beberapa jalan tetapi semuanya Dla'iif.
  4. Imam Ahmad, Ibnu Rahawaih, Abi 'Aly an-Naisabuury, Imam Hakim, Ibnush-Shalaah, mengatakan : "Tidak ada satupun hadis yang shahih dalam bab menuntut ilmu ini"
  5. Al-'Iraaqy mengatakan : Para ulama hadis ada yang mensahihkan riwayat-riwayat tersebut.
  6. Al-Manaawy mengatakan : Riwayat-riwayat tersebut bila dikumpulkan hanya sampai derajat HASAN saja.
  7. Ada pula tambahan kalimat WAMUSLIMATIN = atas perempuan yang Muslim, yang dimasukkan oleh sebahagian pengarang dalam lanjutan riwayat tersebut, akan tetapi tambahan tersebut tidak ada dasarnya sama sekali.
  8. Hadis ini pula diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad dan Imam Baihaqy, tetapi juga termasuk riwayat yang DLA'IIF.
  9. Ibnu 'Adiy dan Imam Baihaqy juga meriwayatkan dengan lafadh yang lain, yaitu : UTHLUBUL 'ILMA WALAU BISHSHIIN "Tuntutlah ilmu walau di negeri cina". Sanadnya DLA'IIF.
  10. Dalam kitab Maqaashidul Hasanah ada tambahan : FAINNA THOLABAL 'ILMI FARIDLOTUN 'ALA KULLI MUSLIMIN.  Jadi kalau dirangkai : "Tuntutlah ilmu itu walaupun sampai negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu diwajibkan atas tiap-tiap orang Muslim.
  11. Sanad yang ada tambahan ini pun dla'iif. Bahkan Ibnu Hibban mengatakan tambahan ini Bathil dan tidak ada asalnya.

Sumber 2 (Prof. KH. Ali Mustafa Ya’kub, MA)
  1. Dengan mengambil sumber dari Jalal al-Din al-Suyuti, al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Fikr, Beiirut, 1401H/1981 M, II/131
  2. Prof Ali menyebutkan bahwa hadis “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” merupakan Hadis shahih yang antara  diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman, Imam  al_Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Shagir, dan al-Mu’jam al-Ausath,  al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad dan lain-lain.

KOMENTAR PRIBADI
Khusus berkenaan dengan hadis kedua “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” dalam bahasan ini, sejauh yang bisa saya pahami (karena saya bukan ahli hadis).
  1. Saya tidak mengerti mengapa kesimpulan Qosim Koho berbeda  dengan Prof. Ali.
  2. Saya HUSNUDHON kepada beliau-beliau, dan ber-asumsi masing-masing hanya memiliki sumber yang berbeda.
  3. Dengan menggunakan kaidah dalam ilmu al-Jarh wa Ta’dil apabila seorang rawi  dinilai negatif  (jarh) dan positif (ta’dil) oleh para ulama kritikus hadis, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang menilai negatif apabila penilaian itu dijelaskan sebab-sebabnya, yang sudah disebut Prof. Ali.
  4. Maka insyaAllah, saya menganggap bahwa hadis “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”  itu cacat secara sanad, tidak bisa digunakan sebagai dalil bahwa hadis tersebut adalah sabda Nabi SAW.
  5. Namun matan (isi) hadis tersebut dapat diterima sejauh ”Ilmu” yang dimaksud adalah “ilmu agama” yaitu Al-Quran, dengan tetap tidak menyandarkan bahwa hadis ini berasal dari Nabi SAW.
  6. Kewajiban orang beriman dalam mempelajari ilmu agama justru menjadi tidak terbantahkan bila menggunakan ayat Al-Quran.
  7. Al-Quran adalah HUDAL LIL MUTTAQIIN. Sebagai petunjuk, bila tidak dipelajari maka fungsi petunjuk menjadi tidak bermakna. Pada gilirannya, mereka  yang tidak mau mempelajari isi Al-Quran akan jatuh kepada mengingkari sebagian rukun iman, yaitu percaya kepada kitab-kitab-Nya.
  8. Masih banyak ayat2 lain yang bermakna belajar agama menjadi wajib. Kita disuruh memperhatikan ayat-ayat Allah (Al-Quran) agar mendapat pelajaran (Shaad 38:29)
  9. Karena itu saya sependapat dengan KH. Mukhtar Adam (3) yang saya ringkas dibawah ini.
KH. MUKHTAR ADAM (3)
Beliau membahas surat Al-QASHSHASH [28:85] Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur'an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.  Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata".
 Ayat ini menjadi dalil bagi para ulama, bahwa mempelajari Al-Quran itu fardhu ‘ain.
Tentang fardhu ‘ain., pertama, dalam AQ ada 16 kali fardhu ain yang tidak bisa diwakilkan. Kedua, fardhu ‘ain dalam mengajarkan AQ. Ketiga, fardhu ‘ain dalam menegakkan AQ. Maka satu diantara kewajiban pokok kaum muslim, terutama generasi muda, adalah mempelajari ‘Ulumul-Qur’an yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Al-Quran sebagai al-Huda wajib kita pelajari karena tanpa memahami kepemimpinannya daripada AQ, kita akan salah ilmunya, akan salah imannya.
Dalam surat al-Hajj [22:54] “dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”
Kalau kita perhatikan susunan ayatnya digambarkan bahwa, ilmulah yang melahirkan iman, iman melahirkan amal. Kalau ilmunya dari AQ, imannya ditempa AQ, dan amalnya disetir AQ. Kalau ilmunya salah, maka amalnya pun juga pasti salah. Itu sebabnya kenapa AQ sebagai al-Huda lebih menunjukkan tentang fardhu ‘ainnya mempelajari. Tidak bisa setengah-setengah saja. Tidak bisa diwakilkan.
KESIMPULAN SAYA
UTHLUBUL 'ILMA WALAU BISHSHIIN FAINNA THOLABAL ‘ILMI FARIIDHOTUN ‘ALA KULLI MUSLIMIN
"Tuntutlah ilmu walau di negeri cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”
“Hadis” ini selain populer digunakan untuk mengukuhkan kewajiban dalam mencari ilmu agama juga populer digunakan untuk mengukuhkan bahwa ajaran islam mewajibkan mencari ilmu dunia. Kalau perlu belajar kepada orang-orang cina.
Ada pertanyaan yang menggantung, mengapa hadis palsu ini memilih negeri cina? Apa ada kaitannya dengan perilaku cina secara umum?
Merekalah yang sukses dalam ekonomi, perdagangan. Mengapa sukses, karena mereka fokus kepada memenuhi hidup dengan kenikmatan duniawi dan tetap fokus pada budaya, tradisi dan falsafatnya. Ini adalah gambaran umum ttg cina, menurut saya. Mencari ilmu ke negeri cina, padahal disana “tidak ada” ilmu AQ. “Agama” cina berasal dari filsafat2 dan budaya tradisionil cina.
Kong Hu Cu atau Konfusius, terkadang sering hanya disebut Kongcu  adalah seorang guru atau orang bijak yang terkenal dan juga filsuf sosial Tiongkok. Filsafahnya mementingkan moralitas pribadi dan pemerintahan, dan menjadi populer karena asasnya yang kuat pada sifat-sifat tradisonal Tionghoa. Oleh para pemeluk agama Kong Hu Cu, ia diakui sebagai nabi. (5)
Kepercayaan tradisional cina sebenarnya bukanlah suatu agama tertentu seperti yang menjadi kesalahpahaman dan salah kaprah mayoritas pemeluk agama lainnya. Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin4 Yang3, dan agama disebut sebagai Zong1 Jiau4. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan1 Jiau4 = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu.
Kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini. (6)